Sejak
dahulu Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Doktrin
tersebut memang merupakan fakta. Dari sektor hutan sendiri saja, Indonesia
menyimpan keanekaragaman hayati yang begitu besar sehingga dikenal sebagai
mega-biodiversity country. Hutan
tropis Indonesia yang tersebar di berbagai pulau diperkirakan merupakan habitat
dari 30-40 ribu jenis tumbuhan. Indonesia pun tercatat pernah menguasai 10%
luas hutan tropis yang tersisa di dunia (sekitar 100 juta hektar) dan berada di
urutan kedua setelah Brasil.
Mengapa
pernah? Karena anugerah tersebut hanya dapat dipertahankan sampai tahun 1995
saja. Di tahun 2006, Indonesia dinobatkan menjadi negara yang juga urutan
kedua, namun dalam hal laju kehilangan hutan terbanyak, yakni sebesar 1,8 juta
hektar per tahun dalam kurun waktu 2000-2005. Di tahun 2007, luas hutan
Indonesia pun diperkirakan hanya tinggal 88 juta hektar dan menjadi hanya
peringkat ke-8 dunia setelah Kongo dalam hal penguasaan hutan tropis yang tersisa
di dunia. Sangat sedikit masyarakat yang menyadari bahwa kelestarian hutan
sangatlah penting. Mindset orang pada umumnya adalah hutan lebih menguntungkan
untuk dialihfungsikan menjadi lahan tambang, perkebunan ataupun ditebang secara
serampangan untuk dijual sebagai kayu gelondongan. Padahal, hal tersebut sangat
memicu pelepasan cadangan karbon ke alam yang tentunya memperburuk efek global
warming yang sudah terjadi. Efek global warming yang sangat dikhawatirkan di
Indonesia saat ini adalah kenaikan permukaan air laut akibat melelehnya tutupan
es dunia seiring meningkatnya suhu global. Hal yang menghawatirkan tersebut
juga mempengaruhi masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang memanfaatkan
hasil hutan tersebut sebagai sumber penghidupan. Jumlah penduduk Indonesia yang
tinggal di desa-desa di dalam dan sekitar hutan yang kehidupannya bergantung
pada sumber daya hutan.
Lalu,
adakah solusi untuk pelestarian hutan yang dapat turut berkontribusi bagi
perekonomian? Jawabannya adalah green economy (ekonomi hijau). Ekonomi hijau
sering disalah artikan dengan pelarangan total terhadap pemanfaatan sumber daya
alam. Paradigma tersebut salah besar. Prinsip ekonomi hijau yaitu kegiatan ekonomi serta pemanfaatan sumber daya
alam dapat dilakukan selama tidak merusak lingkungan. Salah satu upaya
penerapan ekonomi hijau untuk mengurangi pembalakan liar adalah pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Hutan Indonesia dengan keanekaragaman hayati
yang sangat besar menyimpan potensi besar selain pemanfaatan kayu hasil penebangan.
Menurut data dari Departemen Kehutanan, dari 30-40 ribu spesies tumbuhan di
hutan tropis Indonesia, 20 % diantaranya memberikan hasil hutan berupa kayu dan
bagian terbesar yakni 80 % justru memiliki potensi memberikan hasil hutan bukan
kayu. Pengembangan
HHBK pun dapat melibatkan masyarakat sekitar hutan itu sendiri. Pelibatan
masyarakat tentunya harus diiringi dengan edukasi dan pembinaan karena tidak
dapat dipungkiri umumnya pengetahuan masyarakat mengenai HHBK masih sangat
rendah, disamping taraf pendidikan masyarakat sekitar hutan itu sendiri juga
yang umumnya masih rendah. Dengan dimanfaatkannya HHBK secara lestari, selain
dapat mengangkat taraf hidup warga yang sangat bergantung pada hasil hutan,
keseimbangan ekosistem pun dapat terjaga karena hutan sebagai habitat
kenekaragaman hayati.
Dari
penjelasan ekonomi hijau diatas bahwa pertumbuhan ekonomi dan kelestarian
lingkungan bukanlah pilihan yang tidak mungkin. Kunci ekonomi hijau merupakan
pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Jangan sampai doktrin masa
lampau mengenai Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam tadi
pupus karena alam yang rusak akibat generasi saat ini tidak bijak dalam
pemanfaatan sumber daya alam Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar