Dalam dua dekade terakhir ini, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional yang berhubungan dengan hak atas kekayaan intelektual (Intelectual property right). Antara lain : (1) Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual / TRIPs melalui UU No. 7 Tahun 1994; (2) Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra melalui Keppres No. 18 Tahun 1997; dan (3) Perjanjian Hak Cipta WIPO melalui Keppres No. 19 Tahun 1997. Sebagai tindak lanjut dari komitmen Pemerintah Indonesia tersebut diatas, secara materi telah dilakukan sinkronisasi / penyesuaian atas sejumlah Undang-Undang, antara lain : (1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; (2) UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; (3) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek; (4) UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri; (5) UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Sirkuit Terpadu; (6) UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
Dari perspektif kepentingan konsumen, setidak-tidaknya ada dua isu sentral kaitannya antara hak atas kekayaan intelektual dengan perlindungan konsumen. Pertama, UU Hak Cipta dan Akses terhadap Ilmu Pengetahuan (access to knowledge), khusunya dalam hal materi pendidikan, software komputer, film dan musik. Prinsip dasar dalam pemberian hak cipta adalah penetapan bentuk materiil (fiksasi) menjadi sebuah persyaratan pemberian hak cipta. Suatu ciptaan tidak memenuhi syarat untuk memperoleh hak cipta, kecuali apabila ciptaan tersebut telah ditulis, direkam atau diwujudkan dalam bentuk materiil. Dengan demikian, perlindungan hak cipta diberikan untuk ide yang sudah diekspresikan, bukan ide itu sendiri (article 9 (2) of TRIPs).
Dari rumusan UU Hak Cipta, Pemerintah Indonesia dan DPR tidak maksimal dalam memanfaatkan berbagai fleksibilitas yang ada dalam berbagai perjanjian internasional yang sudah diratifikasi. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, domestic law (UU) yang ada justru melakukan pembatasan yang lebih ketat dari apa yang diatur dalam berbagai perjanjian internasional. Misalnya soal sewa komersial (pasal 2 ayat 2 UU Hak Cipta ), rumusan lengkapnya menurut pasal 11 TRIPs adalah sebagai berikut: Pencipta dan / atau pemegang hak cipta atas karya sinematografi dan program komputer memiliki hak untuk memberikan ijin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan komersial, dengan ketentuan: (1) untuk karya sinematografi, sewa tersebut telah mengarah pada tersebarluasnya penyalinan yang secara materiil melanggar hak perbanyakan eksklusif yang dimiliki pencipta dan / atau pemegang hak cipta: (2) untuk program komputer, program itu sendiri adalah obyek sewa yang bersifat inti.
Untuk maksimum fleksibilitas, rumusan pasal 15 UU Hak Cipta seharusnya berbunyi: Tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta: (1) perbanyakan untuk kepentingan pribadi; (2) making of qoutation; (3) use a work for teaching purpose; (4) reproduction of a work by libraries or achieves; (5) reproduction for the blind; (5) use a work by the press. Tidak hanya itu, juga harus ada penegasan bahwa tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, pertunjukan, pementasan atau dimainkannya suatu ciptaan oleh sebuah lembaga nir-laba, dimana pertunjukan tersebut ditujukan untuk keperluan amal, upacara keagamaan.
Pengaturan Sarana Kontrol Teknologi (pasal 27 UU Hak Cipta) juga tidak lengkap. Sarana Kontrol Teknologi sebagai pengaman hak pencipta tidak diperbolehkan dirusak, ditiadakan atau dibuat tidak berfungsi. Padahal menurut section 29 (1) (iii) of the WIPO Model Law ada pengecualian, yaitu apabila hal tersebut terkait dengan tindakan yang diperbolehkan dalam UU ini. Dengan demikian sepanjang hal tersebut untuk pendidikan, untuk keperluan sendiri dan bukan untuk kepentingan komersial, bukan termasuk kategori yang dilarang.
Demikian halnya dengan pengaturan Compulsory licenses, dalam UU Hak Cipta sekarang, terbatas pada terjemahan dan reproduksi, seharusnya perlu diperluas sampai ke publication sebagaimana diatur Apendix to Berne Convention. Dalam perspektif perlindungan konsumen, posisi lembaga konsumen adalah: (1) Memberikan bantuan perlindungan konsumen pada produk yang legal; (2) Fokus pada penanganan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha, dan tidak menangani sengketa antara pelaku usaha dengan pelaku usaha; (3) Mendorong pemerintah memanfaatkan secara optimal berbagai fleksibilitas yang ada dalam hak atas kekayaan intelektual .
Kedua, UU Paten dan Akses terhadap Pelayanan Kesehatan (access to medicine), khususnya untuk produk farmasi berupa obat-obatan, seperti obat penyakit HIV-AIDS. Sebagai tindak lanjut, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dan Keputusan Presiden No. 83 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah terhadap Obat-obat Anti Retroviral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar