Sabtu, 02 Juli 2016

Benarkah ada kartel yang mempengaruhi harga daging sapi di pasaran?

JAKARTA -- Kartel diyakini menjadi penyebab tingginya harga daging sapi saat Ramadhan ini. Merekalah yang memonopoli distribusi daging sehingga pemerintah kesulitan mengendalikan harga di tingkat pengecer yang sekarang minimal Rp 120.000/kg. 

''Sedikitnya ada lima kartel besar. Kita sudah tahu, tapi tak mau dibuka dulu. Kalau dibuka, nanti kabur,'' kata Wakil Ketua MPR Oesman Sapta di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (8/6). Ia menilai, sikap Presiden yang menginginkan harga daging sapi Rp 80.000/kg itu benar.
Keinginan itu berdasarkan saran para menteri meski ada menteri yang keliru memberi masukan. ''Tapi, gila enggak, faktanya ada yang merusak sistem sehingga tugas dari Presiden tidak jalan karena kartel ini dilindungi kelompok-kelompok yang tidak benar,'' ujar Oesman. 

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid meminta Presiden Joko Widodo blusukan bukan hanya ke pasar, melainkan ke pusat-pusat penggemukan dan pengepul sapi untuk mendapatkan fakta. Hal itu untuk memastikan apa yang diharapkan, yaitu harga daging murah bisa terwujud. 

''Ya, kalau Presiden hanya meminta, lalu tak dilaksanakan dan diam saja, wibawa beliau ada di mana?'' tanya Hidayat. Ia menuturkan, dulu persoalan daging sapi pernah dibongkar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang menyebut ada permainan di antara pebisnis besar. 
Ketua KPPU Syarkawi Rauf menjelaskan, panjangnya rantai distribusi dapat memicu timbulnya praktik kartel atau persengkongkolan. Dalam hal ini, KPPU telah menjatuhkan sanksi terhadap 32 feedloter atau perusahaan penggemukan sapi yang terbukti melakukan praktik kartel.

Mereka dijatuhi denda yang totalnya Rp 107 miliar. Sanksi yang diberikan itu terkait gejolak dan fluktuasi harga daging sapi dalam beberapa waktu terakhir. KPPU akan mengawasi persaingan usaha, terutama dalam bidang pangan menjelang hari-hari besar.

Ia menjelaskan, karakteristik rantai distribusi saat ini sangat panjang dan di setiap titik ada perusahaan dominan. Perusahaan dominan di pasar ini berpotensi untuk bersekongkol sehingga harga menjadi tinggi atau bahkan mereka bersepakat menetapkan harga.

"Jika persoalan rantai distribusi ini tidak segera diperbaiki, kemungkinan akan timbul praktik kartel di komoditas pangan lainnya," kata Syarkawi, kemarin. Pada 24 Agustus 2015, KPPU mengungkapkan dugaan praktik kartel oleh pengusaha daging sapi. 

Kartel telah membuat lonjakan harga daging sapi di pasar dalam kurun tiga tahun. ''Ada indikasi persekongkolan antarpengusaha dalam menyuplai daging sapi setiap tahun pada Agustus," kata Direktur Penindakan KPPU Goprera Panggabean. 

KPPU mengamati, harga daging sapi di pasar mengalami kenaikan setiap Agustus sejak 2013. Goprera mencontohkan, harga daging sapi pada Februari 2014 mencapai Rp 98.975/kg menurun Rp 98.477/kg pada Maret 2014.

Pada April 2014 menurun Rp 97.928/kg, hingga Mei kembali menurun menjadi Rp 97.745/kg. Namun, memasuki Juni meningkat Rp 98.447/kg, hingga melonjak pada Juli mencapai Rp 100.879/kg dan Agustus sekitar Rp 100.835/kg. 

Kemudian, harga turun kembali menjadi Rp 99.896/kg pada September hingga Desember 2014. Goprera menyebutkan, kenaikan harga daging sapi pada Agustus 2015 mencapai puncaknya hingga menembus Rp 130.000/kg. 

Terkait tren kenaikan harga daging sapi itu, Goprera mengungkapkan, pihaknya menyelidiki 35 importir sapi. KPPU juga saat itu berencana menyidangkan pelaku usaha yang diduga memengaruhi harga daging sapi guna mengatur produksi dan pemasaran. 


Mereka dianggap telah melanggar Pasal 11 Undang-Undang KPPU Nomor 5 Tahun 1999. Pelaku usaha tersebut terancam denda Rp 1 miliar hingga Rp 25 miliar jika terbukti melanggar hingga terjadi monopoli yang mengakibatkan bisnis tidak sehat.




Saksi ahli dari pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha menilai dampak kenaikan harga daging sapi patut diduga disebabkan oleh adanya perilaku anti persaingan usaha.

Saksi ahli hukum persaingan usaha Prahasto W. Pamungkas mengatakan terjadinya dampak kenaikan harga bisa disebabkan oleh suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tindakan tersebut dapat berpengaruh jika dilakukan oleh beberapa pihak secara bersama-sama.

"Pelaksanaan tindakan tersebut bisa saja dilakukan melalui perjanjian yang disepakati, baik berbentuk tertulis atau lisan, ini yang harus diselidiki KPPU," kata Prahasto dalam sidang pemeriksaan dugaan kartel perdagangan sapi impor, Rabu (20/1/2016).

Dia menjelaskan unsur dalam perilaku kartel disebutkan dalam Pasal 11 Undang-undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bunyi pasal tersebut, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Prahasto menuturkan dugaan penahanan pasokan yang dilakukan oleh 32 terlapor dikaitkan investigator Komisi dengan kenaikan harga daging sapi di pasaran. Hal tersebut perlu dikuatkan dengan adanya perjanjian dan bukti keuntungan dari pelaku usaha.

Jika mengacu pada Pasal 11, lanjutnya, dampak keuntungan maupun kenaikan harga tidak diperlukan. Selama unsur perjanjian dan pengaturan pasokan terpenuhi, maka para terlapor sudah memenuhi tindakan kartel yang tercantum dalam pasal tersebut.

Menurutnya, pembuktian keuntungan maupun kerugian para terlapor membutuhkan alat bukti ekonomi atau circumstantial evidence. Pembuktian tersebut menuntut adanya pengamatan terhadap keadaan yang berkaitan, kendati belum tentu bisa membuktikan adanya perjanjian.

Sementara itu, kuasa hukum para terlapor Rian Hidayat mengatakan selama persidangan Komisi belum bisa membuktikan adanya perilaku kartel maupun penahanan pasokan. "Selama ini belum pernah disebutkan perjanjian mana dari kami yang membuktikan adanya kartel," kata Rian yang mewakili Terlapor 1, 5, 22, 28, 29, dan 30.

Dia menjelaskan para terlapor tidak mungkin melakukan kartel karena kekuatan pasar rata-rata masih di bawah 3% secara nasional.

Rian menjelaskan pasokan daging sapi dalam negeri sebagian besar berasal dari impor. Produksi sapi lokal dinilai masih sangat minim. Di sisi lain, kuota impor dari pemerintah turun drastis dengan jumlah permintaan yang semakin meningkat. Alhasil, terjadi kenaikan harga di pasar.

Menurutnya, kebijakan kuota dari pemerintah juga harus disorot oleh KPPU. "Ahli yang dihadirkan oleh Komisi menurut kami tidak kompeten karena bukan merupakan tenaga pengajar akademis di bidang persaingan usaha," ujarnya.

Dalam Perkara No. 10/KPPU-1/2015 ini memeriksa 32 terlapor tentang dugaan Pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU. Nomor 5/1999 dalam perdagangan sapi impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).

Jika terlapor terbukti melakukan praktik kartel, maka sesuai undang-undang, pelaku usaha akan diganjar denda dengan rentang minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp25 miliar.




Kesimpulan :

Menurut pendapat saya berdasarkan kedua sample berita di atas terdapat dugaan bahwa pelaku usaha melakukan sebuah persengkokolan dengan cara memainkan tingkat harga daging sapi di pasaran dengan motif untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Pak Jokowi pun selaku Presiden Republik Indonesia telah memberikan sebuah keputusan agar harga daging sapi di pasaran bisa di bawah Rp 80.000 per kilogram. Menurut saya, hal tersebut cukup sulit untuk direalisasikan karena harus ditelusuri dari akarnya yaitu para peternak sapi.









SUMBER :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar